Kamis, 21 Agustus 2014

Pengumuman Lelang Pengadaan Kabupaten Tuban 2014

  
 
Untuk pendaftaran dan informasi lengkap dapat diklik di : http://www.lpse.tubankab.go.id/eproc
By Gie

Dilema Posisi Pengusaha Bidang Konstruksi

Sedikit menyuplik dan mengulas tulisan di blog sebelah tentang posisi pengusaha bidang konstruksi atau lebih familiar disebut kontraktor atau pemborong yang pada waktu kuliah dulu saya pernah belajar bahwa posisi antara Owner (pemilik proyek) dengan Kontraktor adalah setara, baik hak maupun kewajiban, akan tetapi apakah realisasinya demikian? Selama saya terjun ke lapangan menjadi pelaksana ( di perusahaan milik bapak hehe..) sampai menjadi Kontraktor saya lebih melihat bahwa Owner merupakan pihak yang diposisikan diatas sedangkan Kontraktor merupakan pihak yang diposisikan lebih rendah. Tidak sedikit hal-hal yang lebih memberatkan Kontraktor sehingga cenderung membuat Kontraktor serba salah, seperti memakan buah simalakama.

Kita tengok peaturan pemerintah mengenai kedudukan Owner dan Kontraktor, Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 Tentang Jasa konstruksi:
Pasal 2 menyebutkan bahwa Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Undang-undang tersebut secara jelas menyebutkan bahwa dunia jasa kontruksi harus adil baik secara hak maupun kewajiban masing-masing pihak. Namun kenyataannya ada beberapa peraturan daerah yang dirasa memberatkan pihak Kontraktor selaku Penyedia Jasa, seperti contoh dibawah ini:

Penyedia jasa pekerjaan konstruksi harus mengadakan pengecekan/perhitungan konstruksi terhadap semua struktur bangunan proyek. Semua pekerjaan konstruksi yang walaupun telah mendapat persetujuan dari pengguna jasa pekerjaan kontruksi dan atau direksi pekerjaan (konsultan), apabila mengalami kegagalan konstruksi, maka tetap sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyedia jasa pekerjaan konstruksi.”

Di peraturan tersebut tertulis jelas, Kontraktor harus melakukan pengecekan/perhitungan terhadap seluruh konstruksi bangunan dari mulai Pondasi sampai struktur atas, jadi kontraktor tidak lagi menjadi “kontraktor” tapi menjadi kontraktor plus perencana, Proyek jenis ini sering disebut “Design & Built”, kontraktor yang mendesign kontraktor pula yang membangun, hal ini jamak terjadi di Proyek-proyek sipil (Jalan, Jembatan, Air) yang perencanaan sebelumnya banyak yang kurang sempurna, setengah jadi bahkan dianggap masih mentah, banyak bagian kontruksi yang tidak bisa dilaksanakan dilapangan sehingga diperlukan perubahan dan design ulang. Setelah kontraktor mendesign ulang baru kemudian kontruksi disetujui untuk dilaksanakan, akan tetapi mengapa bila terjadi kegagalan konstruksi langsung serta merta menyalahkan Kontraktor sebagai penyedia jasa? Padahal kontraktor sudah disuruh menghitung dan mendesign ulang (yang seharusnya tugas perencana), lalu setiap pelaksanaan harus disetujui dan diawasi oleh Owner, loh kok kalo semisal terjadi kegagalan kontruksi yang disalahkan hanya kontraktor?

Memang peraturan tersebut dibuat untuk menuntut kontraktor bekerja lebih hati-hati dan selalu mengedepankan kualitas, akan tetapi bukankah disetiap pekerjaan selalu dilakukan pengawasan dan persetujuan dari owner, seharusnya hal tersebut tetap menjadi pertimbangan, perlu adanya kajian dan analisis terhadap kegagalan yang terjadi, apakah kegagalan murni kesalahan kontraktor akibat metode kerja yang kurang dan spesifikasi bahan yang digunakan tidak sesuai atau memang perencanaan yang kurang tepat, baru kemudian men“judge” siapa sebenarnya yang bersalah. Bukan serta merta langsung main tunjuk semua kegagalan yang terjadi adalah kesalahan kontraktor.

Satu hal lagi, akhir - akhir ini dengan dibukanya kran demokrasi dan reformasi, semua pihak (kurang afdhol kalau disebut satu-persatu) merasa berhak pengawasi, menilai, bahkan men"judge"/mengadili kinerja dan hasil pekerjaan kontraktor, tanpa dibekali pengetahuan teknis, bahkan tanpa memiliki data ( BQ ), spesifikasi teknis yang ada dalam kontrak kerja mereka langsung menyalahkan, bahkan mengirim laporan ke instansi terkait tanpa klarifikasi terlebih dahulu kepada pihak kontraktor terkait permasalahan yang dianggap penyelewengn tersebut.

Yang lebih mengerikan lagi ketika suatu kegagalan proyek konstruksi dimasukkan ke ranah hukum ( kriminalisasi kontraktor ), dan ini terjadi pada rekan kontraktor saya.

Namun memang saya melihat hal ini masih dalam kacamata Kontraktor serta pengetahuan dan pengalaman saya yang masih rendah terhadap dunia Kontruksi turut andil dalam pernyataan saya diatas.

Ditulis disaat khawatir terhadap semua yang saya hitung, saya gambar dan saya kerjakan (Gie )

Rabu, 20 Agustus 2014

MENTERI PU MERESMIKAN PENDIRIAN BADAN ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI INDONESIA

Jakarta, 19/08/14 (BP Konstruksi) – Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, hari ini Selasa (19/08) menghadiri sekaligus meresmikan pendirian Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI). Pendirian Badan ini didasari pada kebutuhan penyelesaian sengketa yang rawan terjadi pada kontrak konstruksi.

“Kontrak konstruksi itu berbeda dengan kontrak-kontrak yang lain. Sifatnya dinamis, berdurasi relatif panjang, kompleks dengan kemungkinan perubahan harga dan ukuran yang bisa berubah sewaktu-waktu adalah faktor yang membedakannya”, ungkap Djoko Kirmanto.

Bahkan ketika sampai ke Pengadilan, penyelesaian sengketa bisa berlarut-larut dan lama. Imbasnya adalah terhambatnya proyek pembangunan Infrastruktur yang berarti merugikan rakyat.

“Bukan berarti selama ini belum ada Badan yang mengurusi sengketa, sebab memang telah ada BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Hanya saja belum ada yang khusus menangani persoalan konstruksi yang lebih rumit”, terang Menteri PU. Dengan adanya BADAPSKI ini diharapkan menjadi solusi penyelesaian sengketa konstruksi dengan cepat, murah, berkepastian hukum dan tidak merusak hubungan antara para pihak yang bersengketa.

Hanya saja menurut Menteri PU, harus dipastikan kredibilitas dari para pendiri BADAPSKI ini. Karena kepercayaan yang menjadi modal dasar baik pada saat mulai sengketa hingga akhirnya saat menyelesaikan sengketa itu sendiri. “Dan harus dipastikan bahwa prinsipnya bukan mencari kemenangan pihak tertentu, tapi mencari keadilan”, tegas Djoko Kirmanto.

BADAPSKI didirikan oleh berapa tokoh bidang hukum dan konstruksi terkemuka dan terpercaya antara lain : Abdul Rahman Saleh (Mantan Jaksa Agung), Hikmahanto Juwana, Hadiman, Roesdiman, Satya Arinanto, Wiratwan Wangsadinata, Sudarto, Bintang Perbowo, Agus Rahardjo, Hediyanto W. Husaini, Amad Sudiro, Sarwono Hardjomuljadi, Firman Wijaya, dan Erie Heriadi.

Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Hediyanto W. Husaini mengatakan pendirian BADAPSKI adalah salah satu usaha menyiapkan keterbukaan pasar di ASEAN pada 2015 nanti (MEA). “Pelaku jasa konstruksi kita harus bekerja dalam kondisi yang nyaman dan kondusif untuk bisa bersaing”, ujar Hediyanto.

Sedangkan pakar hukum terkemuka, Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa arbitrase menjadi solusi selain harus ‘habis-habisan’ di pengadilan. Bahkan sangat dimengerti apabila ahli konstruksi turut berperan dalam proses arbitrase ini, dengan asumsi apabila suatu persoalan tidak diserahkan kepada ahlinya justru menunggu kehancuran akannya.

“BADAPSKI memberi pilihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, dan atau Alternatif Penyelesaian sengketa dalam bentuk Dewan Sengketa (dispute board)”, tambah Staf Khusus Menteri PU Sarwono Hardjomuljadi. Dispute board ini bahkan telah menjadi bagian dari standar bidding dokumen pada proyek-proyek dengan pinjaman luar negeri.

Selain rapat pendirian, dilakukan juga penandatangan Deklarasi Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia oleh Menteri Pekerjaan Umum dan seluruh tokoh sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mencantumkan alternatif penyelesaian sengketa di samping arbitrase dan litigasi.

Kementerian Pekerjaan Umum sebagai pembina sektor konstruksi mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi dalam penyelesaian sengketa konstruksi, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi. (tw/hl)/Rw by Gie

Perlunya Badan Untuk Menyelesaikan Sengketa Kontrak Konstruksi

Menteri Pekerjaan Umum (PU) hari ini menemui dan melaksanakan rapat dengan para pendiri Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI). Menteri PU menyampaikan apresiasinya kepada para pendiri tersebut karena telah memikirkan dan berupaya untuk menyelesaikan salah satu masalah utama dalam pelaksanaan konstruksi Indonesia, yaitu penyelesaian konstruksi antara engguna jasa baik institusi pemerintah, badan usaha milik Negara maupun swasta dengan pihak kontraktor selaku penyedia jasa.
“Hingga saat ini belum ada Badan yang khusus menangani penyelesaian sengketa dibidang konstruksi. Oleh karena itu pendirian badan ini menjadi sangat penting, mengingat panjangnya proses melalui pengadilan yang hampir selalu akan diikuti dengan proses pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi dan kemudian pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung yang memakan waktu lama,” tutur Menteri PU. 
Pendirian badan ini, tambah Djoko, haruslah merupakan pilihan yang harus lebih baik, karena keberhasilan badan ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat (trust) dan penghargaan masyarakat (respect) kepada para juru damai yang ditunjuk.
Disamping Arbitrase bidang konstruksi, Badan ini juga akan memberikan layanan alternative penyelesaian sengketa yang lain, di antaranya dewan sengketa yang pada proyek-proyek dengan pinjaman luar negeri merupakan bagian dari standar bidding document mereka.
Salah satu masalah utama dalam pelaksanaan konstruksi di Indonesia adalah adanya sengketa konstruksi yang terjadi antara pengguna jasa dengan pihak kontraktor selaku penyedia jasa. Kecenderungan terjadinya sengketa ini mengingat kontrak konstruksi bersifat dinamis dan berbeda dengan kontrak-kontrak yang lain.
Faktor yang membedakannya yaitu : durasi proyek yang relatif panjang, kompleks, serta ukuran dan fakta bahwa harga yang disepakati dan jumlah pekerjaan yang dilaksanakan dapat berubah setiap saat selama masa kontrak pelaksanaan konstruksi.
“Faktor-faktor tersebut menyebabkan kontrak konstruksi rawan sengketa dan penyelesaiannya pun cenderung lama”, ujar Djoko Kirmanto.
Yang paling penting, berlarut-larutnya penyelesaian sengketa menyebabkan tidak terserapnya anggaran yang telah dialokasikan, yang kemudian berimbas pada terhambatnya program pembangunan. Bahkan memaksa pengeluaran lebih untuk ‘legal cost’, yang sulit dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dibukukan sebagai biaya proyek.
Karena itulah pendirian Badan yang khusus menangani bidang konstruksi sangat perlu, mengingat badan semacam ini belum ada di Indonesia. BADAPSKI menjadi solusi yang  memberi penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia dapat diselesaikan dengan cepat, murah, berkepastian hukum dan tidak merusak hubungan antara para pihak yang bersengketa.
“BADAPSKI memberi pilihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, dan atau Alternatif Penyelesaian sengketa dalam bentuk Dewan Sengketa (dispute board)”, tambah Kepala BP Konstruksi Hediyanto W. Husaini. Dispute board ini bahkan telah menjadi bagian dari standar bidding dokumen pada proyek-proyek dengan pinjaman luar negeri.
“Saya yakin bahwa keberhasilan badan ini juga berdasar ‘kepercayaan’ masyarakat pada ‘juru damai’ yang ditunjuk”, ujar Staf Khusus Menteri PU Sarwono Hardjomuljadi. Karena itulah BADAPSKI didirikan oleh berapa tokoh bidang hukum dan konstruksi terkemuka dan terpercaya seperti : Abdul Rahman Saleh, Hikmahanto Juwana, Satya Arinanto, Wiratwan Wangsadinata, Roesdiman Sugiarso, Sudarto, dan lain sebagainya.
Alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan alternatif penyelesaian sengketa di samping arbitrase dan litigasi.
Kementerian Pekerjaan Umum sebagai pembina sektor konstruksi mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilaian ahli di bidang jasa konstruksi dalam penyelesaian sengketa konstruksi, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi. (nrm/bpkons)/Rw by Gie