Senin, 11 September 2017

UU Jasa Konstruksi Baru Perkuat Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha

PEMBERLAKUAN Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 yang efektif terhitung sejak 12 Januari 2017, disambut hangat para pelaku jasa konstruksi di Indonesia. Ini setelah dalam beleid yang baru berisi 14 bab dan 106 pasal, justru lebih memperkuat posisi pelaku usaha jasa konstruksi dibandingkan UU Nomor 18 Tahun 1999.

KETUA Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Ruslan Rivai mengakui yang menjadi sorotan dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, jauh berbeda dengan UU sebelumnya.

"Kami masih menunggu produk hukum lanjutannya apakah nanti dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres) hingga peraturan menteri (permen). Memang ada kedua UU Jasa Kontruksi (Jaskon) tidak banyak perubahan, khususnya soal klasifikasi usaha," ujar Ruslan Rivai didampingi Ketua LPJK Provinsi Kalimantan Selatan, Subhan Syarief kepada jejakrekam.com, di Hotel Golden Tulip Banjarmasin, Selasa (2/5/2017).

Menurutnya, dalam klasifikasi usaha seperti bangunan gedung dan bangunan sipil masuk dalam kategori khusus, kemudian ada spesialis dan keterampilan tertentu. "Kalau dulu dalam UU Jaskon sebelumnya diatur adanya klasifikasi usaha yakni bangunan gedung, bangunan sipil, mekanikal dan elektrikal dan lainnya. Jadi, UU yang lebih menyederhanakan dari dulunya empat jenis usaha, sekarang menjadi tiga jenis usaha," tuturnya.

Ruslan mencontohkan proyek di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sangat sarat dengan pengadaan mekanikal dan elektrikal. "Apakah tidak memerlukan kesipilan dan kebangunan? Seperti proyek infrastruktur jalan, jembatan dan bangunan, kemudian ada pengadaan lain seperti pompa air maka masuk dalam kategori khusus," tuturnya.

Ia yakin sebelum diundangkan, UU Jaskon yang baru itu telah dibahas dengan melibatkan lintas sektoral, sehingga harapan para pelaku usaha jelas lebih besar agar kehadiran regulasi baru ini jauh lebih menjamin usaha konstruksi yang kondusif di tanah air. "Dalam UU Nomor 2/2017 ini juga bukan dibahas sekadar jasa konstruksi tapi lebih mengarah pada pola industri konstruksi. Misalkan, nilai proyek itu 100, maka 90 itu merupakan nilai konstruksi," ujar Ruslan.

Dari sini, menurut dia, pertandingan untuk memperebutkan tender atau proyek adalah para rantai pasok tak bisa lagi sendirian. Sebab, para rantai pasok itu harus ditopang peralatan, tenaga kerja serta material yang tersedia di daerah regional atau daerahnya, sehingga berlaku di seluruh Indonesia. "Jadi, tidak lagi berlaku menawar dengan harga terendah atau adanya intervensi kepentingan politik. Sebab, yang bertanding dalam pengadaan proyek adalah sistem. Kami di pusat, termasuk di Kalsel tengah mengembangkan sistem konstruksi yang kondusif, sehingga kontraktor besar yang masuk ke daerah harus menggandeng pengusaha kecil lokal dan spesialis. Intinya, semua harus sinergis," tegas Ruslan.

Selama ini, diakuinya, dalam proses pengadaan tender justru dengan segala persyaratan itu makin membengkakkanya biaya transaksi hingga memakan 20-30 persen dari total proyek yang tersedia. "Ini jelas, bukan lagi bicara nilai konstruksi yang seharusnya 90, justru menurun menjadi 60 hingga 70. Hal semacam ini harus segera dikurangi," tuturnya.

Ruslan mengambil sampel ketika ada proyek jalan, maka yang dibicarakan itu adalah sistem atau spesifikasi jalan, dari mana jalan itu dibangun tentu harus dimulai dengan pembukaan lahan, survei, hingga pengaspalan, termasuk penyediaan tenaga kerjanya. "Dari sini, yang dibutuhkan bukan lagi ahli utama jalan, tapi ahli manajemen proyek. Seharusnya, hal semacam ini menjadi patokan pengguna jasa khususnya pemerintah. Jangan ada lagi, ada proyek yang dipesan anggota Gapensi, misalkan sehingga segala persyaratan dibuat ribet, karena untuk memenangkan salah satu pihak tertentu," tuturnya.

Berlatar belakang pengusaha jasa konstruksi, Ruslan berharap satu hingga dua tahun ke depan dari pusat hingga ke daerah akan bisa menciptakan kondisi jasa konstruksi yang kondusif. "Termasuk, di daerah ini. Jangan sampai kontraktor Kalsel justru jadi penonton. Masak, kita kalah dengan pengusaha luar, karena sudah mengetahui medan seperti sudah tahu bahan baku yang diambil dari alam, seperti batu kerikil, AMP, sumber daya manusia atau tenaga kerja," tutur Ruslan.

Dalam menghadapi pasar besar, ia juga mengaku pengusaha lokal dan nasional tak perlu khawatir. Sebab, menurut dia, dengan regulasi yang ada, seperti perusahaan asal Korea yang ingin mendapat proyek atau tender di Indonesia, tentu akan menggandeng pengusaha lokal yang lebih tahu medan. "Kita yang lebih tahu kondisi daerah, masak harus kalah dengan perusahaan dari luar negeri," cetusnya.

Menariknya lagi, menurut Ruslan, dalam UU Jaskon yang baru ini justru perlindungan hukum kepada penyedia jasa, ketika telah mengikat kontrak dengan pengguna jasa khususnya pemerintah telah dijamin secara perdata. "Makanya, ketika ada aduan atau gugatan dari masyarakat yang melaporkan proyek, apakah mengadu ke jaksa atau polisi, tidak bisa serta merta menghentikan proyek yang dianggap bermasalah. Jadi, proyek itu harus tetap diselesaikan," katanya.

Ia mengakui dengan adanya jaminan hukum ini banyak riak protes dilontarkan khususnya dari aparat penegak hukum. Mengapa? "Ya, karena selama ini banyak proyek yang awalnya bersifat perdata itu justru bisa dibawa ke ranah hukum pidana. Nah, dalam UU Jaskon ini lebih kuat memberi jaminan hukum kepada para penyedia jasa. Hal ini yang patut kita sambut hangat," imbuhnya.(JR rw by Gie)